Thursday, December 7, 2017

Galakan mana sama ibumu?

👉SEBERAPA GALAK ISTRIMU???
.
.
.
“Istriku galak sekali, Ustadz!!”
Tutur seorang bapak dengan kesal, raut mukanya tak menyenangkan sama sekali.
“Seberapa galak istrimu, Pak?”
Tanya Sang Ustadz santai berbalut senyum.

Sebetulnya tidak ada istri yang galak, yang ada hanyalah istri yang stress dan berwatak keras.
Tapi sekeras-kerasnya watak seorang istri, ia tetaplah wanita (feminim).
Jiwanya tetap berhias kelembutan, dan penuh perasaan kasih sayang.
Tak sedikit saya menyaksikan wanita berwatak keras, tapi anaknya tetap banyak. (Waduh, keceplosan. Hehehe).
Pasangannya setia, dan rumah tangganya awet hingga diakhiri oleh kematian.

Watak keras itu produk ayah ibunya, dan lingkungan dimana ia bertumbuh. Ibarat gabah yang tumbuh di sawah yang kering.
Berasnya tetap enak dimakan, asal dimasak dengan cara yang benar.
Hasilnya tetap memuaskan.

Begitupula dengan seorang istri.
Baik dan buruknya seorang istri sangat ditentukan oleh suaminya.
Tangan yang cemerlang, menghasilkan karya gemilang.
Bermodal kesabaran dan kasih sayang, sekeras apapun watak istri, seorang suami tetap bisa membentuknya menjadi wanita shalihah.

Memang tak mudah, butuh keringat berkuah-kuah, lelah, asal lillah insyaAllah bernilai ibadah.
Sabar dan bersungguh-sungguh, itu kata kuncinya.

Bila watak yang keras adalah produk orangtua dan lingkungan, maka istri yang stress adalah produk suaminya.
Kebagusan agama, jiwa kepemimpinan, dan tanggungjawab seorang suami dipertaruhkan di sini.

Kenapa istri bisa stress?

Si istri menjawab, “Kerjaan rumah menumpuk, anak rewel, capek, suami jutek, kasar, sedikit2 suka membentak, berbicara dg nada keras, sumpek, kasur bau ketek, pengen empek empek, dan bla bla...”

Istri stress, bisa jadi ia kurang piknik, maka ajaklah ia jalan-jalan.
Cari tempat yang bisa terjangkau dengan ketebalan dompet.
Lakukanlah minimal sekali dalam seminggu.
Semisal ke pantai, sawah, gunung, naik sampan menyusuri sungai, kebun kopi, dan lainnya.
Anak titipkan ke mertua atau saudara jika bisa......bawa camilan yang banyak, dan pacaranlah berdua saja.

Istri stress maka ajaklah ia shoping.
InsyaAllah stressnya akan hilang seketika.
Atur budgetnya biar nggak kolaps.
Setelah itu makanlah berdua di rumah makan yang disukai.

Bagaimana dengan anak-anak? Bawa..... Atau titipkan lagi saja ke mertua atau saudara agar privasi kalian tidak terganggu.

Istri stress, bisa jadi karena kurang dipuji, jarang digombal, maka mulai saat ini rajin-rajinlah memuji dan menggombal.
Pujilah masakannya walau terasa keasinan, hambar nggak karuan, atau rasa permen nano-nano.
Pujilah kecantikannya walau onderdilnya sudah goyang sana-sini.
Panggillah ia dengan sebutan sayang, cinta, bidadariku, atau apa saja yang terdengar indah dan disukainya.

Istri stress, bisa jadi karena kurang ngaji.
Ruhiyahnya kosong melompong, sekarat berkarat, dan kerempeng melempeng.
Ajak ia mengukiti kajian, perbaiki bacaan Qur’annya, simak hafalannya, kawal shalat fardhunya, dan sesekali bangunlah kalian disepertiga malam.
Tahajjudlah berdua, semoga cinta kalian dalam mahabbahNya.

Jikalau semua itu sudah dilakukan, tapi tetap saja sering marah-marah,
Lalu bagaimana?

Mari kita simak kisah Khalifah Umar Ibnu Khattab ra berikut ini:

Suatu waktu, seorang lelaki tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar Ibnu Khattab dengan maksud hendak mengadukan perilaku istrinya yang suka marah-marah.
Begitu tiba di kediaman Khalifah Umar, lelaki itu tanpa sengaja mendengar suara istri Umar bin Khaththab sedang meleja khalifah kedua itu.
Lelaki itu semakin bingung, karena Khalifah Umar sama sekali tidak membela diri.
Menyaksikan hal tersebut, lelaki itu pun balik kanan dan melangkahkan kaki untuk pulang sembari bergumam,
“Kalau Khalifah saja dimarahi oleh istrinya dan tidak bereaksi apa-apa, untuk apa saya mengadu kepada beliau?” Sembari terus melangkahkan kakinya.
Tak disangka, ternyata Khalifah Umar menyadari kehadiran sang tamu.
Beliau pun segera membuka pintu dan tatkala melihat sang tamu telah beranjak, buru-buru beliau memanggil,
”Apa keperluanmu?”
Lelaki itu pun berbalik dan segera menghadap Khalifah Umar.
”Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya aku datang untuk mengadukan perilaku istriku dan sikapnya kepadaku, tapi aku mendengar hal yang sama pada istri tuan.”
”Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, melahirkan anakku, merawat dan menyusui anakku, ” jawab Umar.
”Di samping itu,” sambung Umar, ”Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram dan zina—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatan istriku.”
”Wahai Amirul Mu’minin, istriku juga demikian,” ujar orang laki-laki itu.
”Oleh karena itu, sabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar!”

Kisah di atas mengajarkan kepada suami, lagi-lagi bagaimana sikap terbaik seorang suami dalam menghadapi ketidaksempurnaan istrinya.
Suami perlu menyadari bahwa istrinya bukan bidadari yang hanya mengenal kelembutan dan kepatuhan total.
Istrinya hanyalah manusia biasa.
Sebab ia manusia biasa, masih bernaung padanya banyak kelemahan.
Di antara kelemahannya itu adalah emosi yang tak terkendali.
Alias galak.
Maka sikap terbaik seorang suami adalah sabar.
Bersabarlah, sebagaimana halnya Khalifah Umar yang bersabar atas istrinya. Beralasanlah yang baik, sebagaimana baiknya Khalifah Umar menarasikan kelemahan istrinya.

Wallahu alam bisshowab!