Friday, March 16, 2018

Mukidi

MUKIDI NAIK HAJI

Kakak beradik, Mukidi dan Kartono dapat perintah dari bapaknya untuk naik haji. Bapaknya seorang Kyai yang memiliki pondok pesantren.

Bapaknya memberi masing-masing 20 juta kepada Kartono dan Mukidi. Perintahnya uang tersebut un tuk naik haji.

Keduanya lalu berangkat ke KUA, hendak cari informasi cara daftar haji. Dari sana dia dapat info cara daftar haji adalah membuka tabungan haji di bank syariah dan membayar 25 juta rupiah agar dapat antrian. Lalu daftar di kantor kemenag kabupaten.

Mereka langsung pergi ke bank syariah di dekat pasar. Buka tabungan haji. Kartono duluan dengan setoran 20 juta dan dia bilang bahwa 5 jutanya akan disetorkan minggu depan dari hasil jualannya di pasar. Kartono tanya kepada petugas bank yang bening itu, “ Mbak, kalo sudah lunas lalu kapan berangkatnya?”. “Antrinya 10 tahun Pak”, jawabnya.

Mendengar antrian 10 tahun, Mukidi membatalkan niatnya membuka tabungan haji. Dia pulang, mampir ke Pasar Siyono.

Di Pasar Siyono, Mukidi membeli 9 ekor kambing betina dan 1 pejantan. Dia minta penjualnya untuk mengantarnya semua kambingnya ke rumah. Penjual bersedia.

Kambing-kambing milik Mukidi digembalakan di belakang pondok. Mukidi meminta Ustadz Irfan yang  mengajar Biologi di pondok  untuk menjadwal santri-santri untuk bergiliran menggembala dan mengurusi kambing. Tidak ada santri yang mangkir dari tugas ini. Kebetulan, lahan gembalaan luas tersedia di belakang pondok.

10 tahun kemudian……

Mukidi telah berkeluarga, anaknya satu. Cowok umur 1,5 tahun. Kerjaan Mukidi tidak berubah dari dulu,  pagi ngopi dan sorenya main voli.  Kartono anaknya sudah tiga. Mukidi dibuatkan rumah oleh Bapaknya di sisi depan area pondok. Sedangkan Kartono membangun sendiri rumahnya di samping pondok diatas tanah mertuanya. Kartono memang lebih mandiri, dia mampu membangun sendiri rumahnya. Namun keduanya tidak ada yang berbakat jadi ustadz atau Kyai. Semua ustadz yang mengajar di pondok milik bapaknya berasal dari luar keluarga.

Sore itu Mukidi menerimat amplop surat berlogo Kemenag. Ternyata untuk Kartono, kakaknya. Tanpa permisi dibukanya surat itu. Isinya pemberitahuan bahwa “Kartono mendapat jadwal berangkat haji tahun ini dan di minta melunasi BPIH sebesar 30 juta rupiah dari total biaya haji 55 juta rupiah”.

Aha……Mukidi jadi ingat bahwa dia juga dapat perintah naik haji. Dia belum daftar.

Mukidi langsung googling cara naik haji cepat. Dia nemu program haji plus. Antrinya 3 tahun. Biayanya 150 juta. Mukidi garuk-garuk kepala.

Mukidi bergegas ke belakang pondok. Dia bengong. Lha kok kandangnya banyak sekali. Dipanggilnya salah seorang santri yang ada didekat kandang. “ Kambingnya ada berapa?”, tanya Mukidi.

“Ada 25 ribu Gus”, jawabnya. “ Paling nanti sore juga sudah bertambah, ini ada 50 induk sudah mau melahirkan. Ditaruh dikandang pojok sana Gus, agar mudah nanti merawat anak-anaknya”, jawabnya lagi.

Mukidi bengong. 25 ribu ekor. Jumlah yang mengagetkannya. Dia kembali bertanya, “ Sekarang harga kambing berapa?”. “4 jutaan kalo yang ukuran sedang Gus”, jawab santrinya. “Iya nih Gus, dikurangi saja ini kambingnya. Dijual sebagian. Sudah banyak sekali belum pernah dijual. Paling yang induk afkir yang pernah dijual, itupun duitnya dibelikan indukan muda lagi.”, sambung santrinya.

“Repot Gus ngurusnya kalo tidak kurangi. Kambing ini, umur 8 bulan sudah minta kawinkan. Tapi biasanya kami kawinkan jika umurnya sudah hampir setahun.  Hamilnya cuma 6 bulan udah melahirkan. 2 bulan anaknya udah disapih. Terus kawin lagi dia Gus. Dua tahun 3 kali melahirkan. Sekali beranak 2 ekor. Malah kadang 3 ekor. Yang sekali lahir 4 ekor juga ada Gus. Yang 1 ekor juga ada, tapi jarang”, lanjut santrinya menjelaskan.

Mukidi hanya diam dan bengong mendengarkan.

“Lha itu siapa?”, tanya Mukidi sambil menunjuk seorang pemuda yang sedang memeriksa kambing. “ Itu Pak Dokter. Dokter hewan Gus”, jawabnya.

“Ustadz Irfan memerintahkan kami menjaga kesehatan kambing, agar yang mati tidak lebih dari 5 persen. Lalu dia juga minta dokter hewan tiap sore ke sini. Kambing jantan kadang dijual Gus. Uangnya dibelikan indukan. Agar perbandinganya sekitar 1 jantan 10 betina. Kalo jantan tidak dikurangi, banyak yang berantem kambingnya. Rebutan betina ”, sambung santrinya bercerita.

Mukidi bergegas pulang dengan segala perasaannya. Bingung. Senang. Bengong. Mungkin, Mukidi memang terlahir untuk seperti ini.

Mukidi pulang tidak melewati jalan biasanya. Dia mlipir lewat belakang pondok, lalu ke pasar . Mampir toko milik Mbak Anik, sepupunya yang jualan kebutuhan bayi : popok ramah lingkungan dan sprei waterproof anti ompol anti pesing. Mukidi membeli popok ramah lingkungan pesanan istrinya. Biasanya istrinya pesan sendiri via WA ke 0878-8457-4737 dan pesanan diantar kurir. Rencananya, bulan depan istrinya Mukidi akan daftar jadi reseller produk ini, jadi bisa ikut jualan.

Seminggu kemudian…

Mukidi memutuskan menjual separo kambingnya. Total ada 12.500 ekor terjual. Laku 4 jutaan. Uang hasil penjualannya ada 50 Milyar. “Ini cukup untuk daftar haji plus 333 orang”, gumam Mukidi sambil mencet-mencet kalkulator.

Tiga tahun kemudian, Mukidi, kedua orang tuanya, Kartono, Ustadz dan Ustadzah pengajar pondok, staff TU dan warga pondok lainnya berangkat haji. Jumlahnya 333 orang. Ramai sekali acara pamitan keberangkatannya.

“….semoga menjadi haji mabrur”, suara Ustadz Irfan membaca do’a pada acara pamitan  tersebut.

“Aamiin…..”, jawab jama’ah yang hadir.

“…semoga alumni pondok ini ada yang menjadi pemimpin negeri ini…pemimpin yang adil dan cerdas…”, sambung do’anya.

“Aamiin….”, suara gemuruh mengaminkan do’a.

“…semoga alumni pondok ini ada yang jadi Menteri Agama. Agar Gus Mukidi diangkat jadi direktur pengelola dana haji”, Ustad Irfan melanjutkan do’a.

“Aamiin….”, suara gemuruh mengaminkan do’a. Entah terdengar jelas atau tidak karena suasana ramai dan sound system kurang bagus, juga entah paham atau tidak apa tadi do’anya, mereka tetap mengaminkan do’a tersebut.

*Boleh dicopas tak boleh diedit.

No comments:

Post a Comment